Senin, 26 Januari 2009

GANTI RUGI AKIBAT TINDAKAN
PEJABAT PEMERINTAH YANG DIATUR DALAM
RUU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAN PROSPEK PERATUN INDONESIA MASA DEPAN



Oleh : SUPANDI
Hakim Tinggi/Kapusdiklat Tehnis Peradilan Mahkamah Agung R.I.
I. Pendahuluan.

Menyambut dengan gembira undangan Ketua Pelaksana "Panitia Pembekalan Teknis Peradilan di Lingkungan Peradilan TUN menyongsong akan berlakunya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan", penulis ingin memaparkan buah pikiran mudah-mudahan dapat menjadi bahan renungan bersama dan bermanfaat untuk eksistensi Peradilan TUN yang tangguh sebagai pengawal terwujudnya Aparatur Negara yang tertib, efisien, berwibawa dalam rangka Negara Hukum Republik Indonesia.
Buah pikiran penulis ini didasari oleh renungan berlatar belakang teoritis Hukum Administrasi Negara dan juga berlatar belakang empiris praktek penyelenggaraan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia sejak mulai beroperasinya tanggal 14 Januari 1991 sampai dengan sekarang.
Sekilas dengan disusunnya RUU Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) sebagai inisiatif Pemerintah menunjukkan suatu kemauan politik (Political will) yang kuat dari Pemerintah untuk melaksanakan reformasi birokrasi pemerintahan, dan dari para praktisi Peradilan Administrasi (Peratun) Indonesia menjadi harapan bahwa Peradilan Administrasi (Peratun) kita akan mempunyai salah satu hukum materiil yang terpisah dari hukum formil (acara) nya. Karena selama ini hukum materiil lingkungan Peratun tersebar secara lintas sektoral peraturan perundangan penyelenggaraan negara kita.
Walaupun keberadaan RUU-AP tersebut sebagai angin segar yang melegakan para praktisi Peratun, namun kiranya kita perlu menyimak dan mencermati tentang beberapa permasalahan yang dapat penulis paparkan secara singkat sebagai berikut :
1. Apa sesungguhnya yang menjadi kendala dalam penegakkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun,
khususnya pasal 67 dan pasal 116 nya ?
2. Apakah keberadaan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1986 dapat mengatasi
keadaan ?
3. Apakah penerapan ganti rugi akibat OOD tidak memperburuk keadaan bagi eksistensi Peratun, dan piranti
hukum apa yang diperlukan ?

II. Pembahasan.

1. Apa sesungguhnya yang menjadi kendala dalam penegakkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun, khususnya pasal 67 dan pasal 116 nya ?
Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986, dikenal sebagai lembaga Penangguhan (schorsing) terhadap Keputusan TUN objek sengketa.
Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986, dikenal sebagai lembaga Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan TUN yang berkekuatan hukum tetap.
Dari sisi teori Hukum Administrasi Negara, UU No. 5 Tahun 1986 tersebut telah tepat dan benar, karena didalamnya mengandung :
a. Penghormatan terhadap prinsip yang penting didalam Hukum Administrasi yaitu : Azas Prae Sumptio Iustae Causa (Azas Praduga Keabsahan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara), yaitu Keputusan Pejabat benar atau salah oleh publik harus dianggap benar dan segera dilaksanakan, kecuali oleh Pengadilan (Hakim) diperintahkan untuk dihentikan pelaksanaannya atau dinyatakan sebaliknya.
b. Walaupun Pengadilan (Hakim) oleh Undang-Undang diberi wewenang untuk menghentikan berlakunya azas hukum, oleh sebab itu lembaga Penangguhan (schorsing) harus dijabarkan secara sangat hati-hati, karena semata-mata hanya untuk memberikan kualitas keseimbangan perlindungan kepentingan umum dengan kepentingan individu warganegara (Penggugat). Namun, manakala dalam rangka melindungi kepentingan individu warganegara (Penggugat) tersebut berakibat terlantarnya kepentingan umum, maka Pengadilan (Hakim) wajib mengutamakan kepentingan umum.
c. Kalaupun ada lembaga intervensi (pola perdata) terdapat didalam Hukum Acara Peratun (Pasal 83), tetapi didalam praktek Peratun lembaga intervensi ini masih sangat bermanfaat demi tercapainya kebenaran materiil dan keadilan, karena "Azas Erga Omnes" belum dapat ditegakkan secara konsisten terutama oleh para Pejabat TUN kita (Blessing in disguise).
Sebagai konsekwensi (konsisten) terhadap nilai-nilai yang terkandung oleh Azas Prae Sumptio Iustae Causa tersebut, maka Pejabat TUN sesungguhnya "personifikasi organ negara hukum", oleh sebab itu conditio sine quo non (syarat yang tidak boleh tidak ada) pada diri Pejabat TUN adalah sikap taat, patuh dan konsisten terhadap penegakan hukum, walaupun dalam menegakkan hukum tersebut bertentangan dengan kepentingan pribadi sang Pejabat. Prof. Dr. Paulus E. Lotulung, SH., menyebutnya dengan Azas "Self respect" atau "Self obedience" dari aparatur pemerintah terhadap putusan-putusan Peradilan Administrasi; karena tidak dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung melalui jurusita seperti halnya dalam prosedur perkara perdata (Paulus E.Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah; 1993 hal. 118).
Manakala ada seorang Pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan perintah hukum, termasuk perintah dalam putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap, termasuk Penetapan Penangguhan (schorsing) sebagai hukum dalam kasus konkrit, maka sang Pejabat TUN tersebut sedang dalam keadaan melawan perintah jabatannya (Supandi; disertasi; 2005).
Dalam kondisi demikian, sesungguhnya sang Pejabat TUN tersebut telah gagal menjalankan peran organ Negara Hukum, sehingga secara materiil yang bersangkutan tidak layak menduduki jabatan TUN tersebut, karena secara akumulasi jabatan-jabatan TUN seperti ini dapat membahayakan eksistensi Negara Hukum.
Oleh sebab itu sudah tepat dan benar pola yang dianut oleh Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun yaitu pola eksekusi otomatis, dan paling ekstrim dengan peneguran berjenjang.
Tetapi das-sain, pola itu tidak jalan, siapa yang salah ?
Pengadilan kah ? - Tidak !
Aparat Pengadilan kah ? - Juga tidak !
Undang-Undang Peratun kah ? - Juga tidak, Undang-Undang tersebut sudah baik.
Ternyata, budaya hukum Pejabat-Pejabat TUN kita yang masih sangat memprihatinkan dan perlu diupayakan piranti untuk memperbaikinya.
Sementara itu media dan komentator yang tidak kompeten telah membentuk "Persepsi Publik yang Salah" yaitu : "Pengadilan TUN ibarat macan ompong, menang diatas kertas dengan susah payah, tetapi tidak dapat dieksekusi".
2. Apakah keberadaan UU No. 9 Tahun 2004 sebagai Revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1986 dapat mengatasi keadaan ?
Semula memang mengembang harapan dengan revisi Undang-Undang tersebut dapat mengangkat kualitas budaya hukum Pejabat TUN (Tergugat) dengan cara penerapan uang paksa dan/atau sanksi administratif dan pengumuman di media massa.
Tetapi ternyata setelah revisi tersebut berjalan hingga hari ini (± 5 tahun), pasal revisi tersebut tidak jalan, sebagaimana statemen Pokja TUN (Kelompok Kerja TUN) Mahkamah Agung R.I. tanggal 5 Nopember 2007 sebagai berikut :
1. Hal pembayaran uang paksa dan sanksi administratif belum dapat diterapkan karena menunggu tata cara pelaksanaannya yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan ataupun peraturan yang terkait dalam hal tersebut.
2. Hal pengumuman pejabat pada media massa cetak setempat, sudah dapat dilaksanakan dengan mengacu pada Juklak Mahkamah Agung R.I. No. 2 Tahun 2005.
3. Untuk memudahkan penerapannya, sebaiknya dalam surat pemberitahuan putusannya dicantumkan kalimat :
"Apabila Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka atas permohonan Penggugat, Pejabat yang dibebani melaksanakan putusan yang akan diumumkan pada media massa cetak setempat".
Pola pengawasan eksekusi versi pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004 seolah-olah suatu jalan keluar yang ternyata juga sulit berkaitan dengan : tata cara pelaksanaan yang tidak kunjung ada, walaupun agak mencederai Etika Negara Hukum yaitu : "Negara telah memberikan amanah kedaulatan rakyat kepada seorang oknum pejabat yang untuk melaksanakan perintah hukum harus dengan upaya paksa".
Dari kenyataan ini, secara sosiologis diperlukan suatu sarana hukum yang lebih tegas dan realistis sesuai dan setara dengan penyakit budaya hukum yang sedang diderita para Pejabat TUN kita.
3. Apakah penerapan ganti rugi akibat "Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah, tidak memperburuk keadaan bagi eksistensi Peratun, dan piranti hukum apa yang diperlukan ?
Prof. Laica Marzuki menterjemahkan OOD (onrechtsmatige overheidsdaad) dengan "Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah" (Laica Marzuki; Kuliah OOD, Cakim Angkatan III MA-RI; 2008).
Beliau tidak sependapat dengan istilah “melawan hokum” bagi pemerintah, tetapi yang benar adalah “terlanggar” atau “dilanggarnya” ketentuan hukum oleh pemegang kekuasaan pemerintah.
Penulis sependapat dengan pemikiran beliau, karena das sollen pejabat TUN itu adalah orang – orang yang terpilih dan sudah teruji kualitas kesadaran, kepatuhan, ketaatan, sikap konsisten sebagai personifikasi organ Negara hukum.
Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa OOD adalah spesies dari "onrechtsmatigedaad" sebagai genusnya.
Pada dasarnya, seperti juga dalam hukum perdata untuk dapatnya timbul kewajiban membayar ganti rugi haruslah terpenuhi adanya 3 unsur yaitu :
a. Ada kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh salah satu pihak.
b. Ada kerugian yang dialami oleh pihak lainnya, baik berupa kerugian material maupun immaterial.
c. Ada hubungan kausaliteit (sebab akibat) yang terjalin kesalahan dan timbulnya kerugian tersebut (Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, 1993, hal. 17).
Bahkan seirama dengan perkembangan yurisprudensi di Belanda (putusan Hoge raad Tahun 1919 terhadap kasus Lindenbaum Cohen) sehubungan dengan perbuatan melanggar hukum tersebut telah dianut ajaran "Perbuatan Melanggar Hukum Materiil" yang saat ini juga telah dianut dalam rejim penegakan hukum pidana (Tipikor).
Terlepas dari perkembangan ajaran "Perbuatan Melanggar Hukum" sebagai genus di rejim Perdata, dan spesiesnya berkembang di rejim Pidana dan TUN, sejenak penulis menyimak tentang prospek penegakkannya dalam Hukum Administrasi Negara.
Sekilas digulirkannya RUU-AP oleh Pemerintah adalah suatu kemajuan luar biasa bagi perluasan kewenangan absolut penyelesaian sengketa oleh PTUN yang selama ini terbatas pada objek "Keputusan TUN yang tertulis, bersifat konkrit, individual dan final", kelak akan diperluas menjadi "Keputusan TUN yang tertulis dan/atau tidak tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam lapangan Hukum Administrasi Negara baik tindakan hukum dan/atau tindakan faktual, serta perbuatan melanggar Hukum Administrasi Pemerintahan oleh Pejabat Pemerintahan (RUU-AP pasal 1 butir 1, 4, pasal 36, 39 dan 44).
Dibalik harapan yang besar bagi masa depan Peratun Indonesia dengan amanah perluasan kewenangan absolut tersebut, terbesit rasa khawatir dan skeptis penulis menyimak gejala itu tentang 2 (dua) hal sebagai berikut
a. Melemahnya penghayatan dan konsistensi penegakkan Azas Hukum Administrasi "Prae Sumptio Iustae
Causa".
Menurut azas hukum ini, pada prinsipnya Pejabat TUN dalam menjalankan wewenangnya adalah penegakkan Hukum Administrasi secara konkrit, oleh sebab itu harus diasumsikan dalam posisi yang benar.
Dalam yurisprudensi Conseil d'Etat telah mengembangkan teori tentang "kesalahan", yang pada pokoknya dibedakan antara "kesalahan dinas" (Faute de service) dan "kesalahan pribadi si Pejabat" (Faute de personelle) dan "kesalahan ringan" (Faute legere). (Paulus E. Lotulung, Beberapa Sisten Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, 1993 : 18).
Jika kita konsisten terhadap jiwa Azas Hukum Administrasi tersebut diatas, maka hanya perbuatan melanggar hukum oleh Pejabat TUN yang dilatar belakangi kesalahan pribadi (Faute de Personelle) yang dapat dibebani tuntutan ganti rugi.
Kesalahan-kesalahan pribadi tersebut biasanya lahir bersama dengan tindakan-tindakan TUN dalam bentuk “penyalahgunaan wewenang” (detournement de pavoir) atau “tindakan sewenang-wenang” (Willekeur).
b. Perjalanan Peratun Indonesia sejak 14 Januari 1991 sampai dengan sekarang 9 Januari 2009 (± 18 tahun), ketentuan pasal 67 dan pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004, berbuah keprihatinan kita semua, malah telah terbentuk Persepsi Publik yang sesat dengan stikma "Peratun sebagai macan ompong", padahal yang sesungguhnya terjadi adalah "budaya hukum Pejabat TUN Indonesia yang masih sangat memprihatinkan".
Dari suatu penelitian yang pernah dilakukan tahun 2005 dengan sampel PTUN Medan sebagai objek penelitiannya, bahwa putusan PTUN yang dilaksanakan oleh Tergugat di wilayah hukum itu hanya sekitar 30% (Supandi, Disertasi, PPS.USU, 2005).
Konon, dalam rangka RUU-AP, kita akan menegakkan tuntutan ganti kerugian terhadap Pejabat TUN yang melakukan perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil bagi seseorang warganegara.
Tanpa dilengkapi dengan piranti normatif yang tegas dan realistis yang mampu mendongkrak kualitas budaya hukum Pejabat TUN (Ingat : Law as a tool of social Enginering), penulis sangat khawatir, perluasan wewenang dan kompetensi Peratun Indonesia itu hanya akan memperparah kesesatan persepsi publik yang sudah terlanjur terbentuk secara salah itu.

III. Kesimpulan.

1. Peraturan Indonesia berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 sesungguhnya sudah benar sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Administrasi Negara, khususnya tentang Pola Eksekusi Otomatis setidak-tidaknya dengan peneguran berjenjang.
Kalaupun "das sain" tidak berjalan, semata-mata dikarenakan "kualitas budaya hukum Pejabat TUN kita yang masih sangat memprihatinkan".
2. Revisi UU No. 5 Tahun 1986 dengan UU No. 9 Tahun 2004 khususnya pasal 116 ternyata tidak merubah keadaan, karena tanpa dilengkapi piranti normatif yang tegas dan realistis sebagai upaya mengangkat/mendesign kualitas budaya hukum Pejabat TUN kita.
3. Jika konsisten dengan jiwa Azas Prae Sumptio Iustae Causa, seyogyanya Pejabat TUN yang dalam menjalankan wewenangnya melakukan "kesalahan pribadi" (Faute de personelle), saja yang dapat dibebani tuntutan ganti kerugian dengan kwalifikasi "perbuatan melanggar hukum oleh Pejabat pemerintahan".
Pembuat Undang-Undang harus serius mengawal cita hukum ini dengan piranti normatif yang benar-benar dapat mendidik dan mendisiplinkan para Pejabat TUN, sehingga budaya hukumnya mencapai tingkat yang kita harapkan.

IV. Saran – Saran

1. Pola “Eksekusi otomatis” dan “Peneguran berjenjang” yang dianut UU No.5 tahun 1986 hendaknya dikembalikan lagi, karena ternyata “penerapan upaya paksa dan/atau sanksi Administratif dan pengumuman di media masa” disamping mencederai prinsip-prinsip dalam Hukum Administrasi Negara, juga sulit dilaksanakan
2. Pengembangan kopetensi Peratun kepada objek : Keputusan TUN yang tertulis dan/atau tidak tertulis baik tindakan hukum dan/atau tindakan faktual, serta perbuatan melanggar hukum oleh pejabat Pemerintahan, adalah sebagai keharusan sejarah, suatu indikasi bahwa Negara kita akan bersungguh-sungguh sebagai Negara hukum dan telah belajar ber Peratun selama kurang lebih 18 tahun.
3. Sehubungan dengan tekad dan keseriusan bernegara hukum dalam bentuk perluasan kopetensi absolut Peratun itu, akan menjadi bumerang dalam bentuk pelecehan eksistensi Peratun sebagai “ The Guardiand of Rules of Law dan Good Governance” manakala pembuat undang-undang tidak melengkapinya dengan “piranti normatif” yang dapat meningkatkan kualitas budaya hukum Pejabat TUN Indonesia.

Misalnya :
Didalam UU. Admninistrasi Pemerintahan yang akan datang harus dituangkan suatu norma yang berwibawa dan ditegakkan secara tegas dan konsisten, sbb:
a. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan atau penetapan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (hukum dalam kasus konkrit), dikualifisir “sedang melawan perintah jabatannya” dan oleh karena itu tidak layak menduduki jabatan TUN (non job).
b. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, harus secara atributif diberi wewenang oleh undang-undang untuk mencabut jabatan publik tersebut dengan hak delegasi kepada Menteri Penertiban dan Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai eksekutor berdasarkan pemberitahuan dari Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang oleh undang-undang diberi wewenang sebagai pengawas pelaksanaan putusan Pengadilan TUN yang berkekuatan hukum tetap.
c. Tata cara penegakkannya diatur lebih rinci didalam undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
d. Sejalan dengan rancangan undang-undang tersebut, hendaknya DPR dan Pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang No. 9 Tahun 2004 jo UU. No. 5 Tahun 1986 khususnya tentang pasal 116, sehingga terdapat Sinkronisasi antara Hukum Materiil dengan Hukum Formilnya.

Semoga diperoleh manfaat dari tulisan ini.

Mega Mendung, Awal Januari 2009.


Supandi
E-mail : spd_judge@yahoo.co.id



DAFTAR PUSTAKA


1. Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bandung, 1993.
2. Laica Marzuki, Bahan Kuliah Umum "Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah", Cakim Angkatan III, MA-RI, 2008.
3. Supandi, Kepatuhan Pejabat Dalam Melaksanakan Putusan PTUN di Medan, Disertasi, 2005.
4. Kementrian Negara PAN, Perbandingan Substansi Materi RUU Administrasi Pemerintahan, Hasil Rapat Kabinet Terbatas, 2008.
5. UU No. 5 Tahun 1986, Tentang Peratun.
6. UU No. 9 Tahun 2004, Tentang Revisi UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar